26 Mei 2012

“Rasulan” dan Upaya Mensyukuri Nikmat Allah Swt


            Hari Raya Ketiga. Itulah sebagian julukan dari ‘rasulan’ atau bersih desa di Kabupaten Gunungkidul, yang setiap tahun diperingati seluruh warganya. Dikatakan sebagai hari raya ketiga, karena kegembiraan warga dan kemeriahan tradisi rasul itu laksana hari raya. Dalam ritual rasul diadakan selamatan dengan mengadakan sedekah dan beragam rangkaian kegiatan lain. Mulai dari kesenian, olah raga hingga pengajian selalu ditampilkannya.
Ritual rasulan, yang dilaksanakan tahunan oleh setiap dusun dan/atau desa ini memiliki dua aspek penting yang perlu mendapatkan apresiasi. Aspek pertama adalah rasa syukur warga Gunungkidul atas berbagai nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. Mereka mengadakan tasyakuran guna menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Allah Swt, dan berdoa agar di hari kemudian semakin bertambah nikmat yang diberikan-Nya.
Apa yang menjadi laku dan tujuan masyarakat Gunungkidul ini, secara jelas bersesuaian dengan firman Allah Swt dalam kitab suci-Nya al-Qur’an. “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumatkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim:7). Dengan demikian, wujud bersyukur dalam tradisi rasulan haruslah bersesuaian dengan nilai-nilai agama, jangan sampai justru bertentangan. 
Masih dalam kaca mata agama, rasulan menunjukkan sikap kebersamaan. Dengan mengadakan rasulan, warga bergotong royong menyiapkan beragam kebutuhan acara. Mereka tidak mendapatkan gaji dari kerjanya. Malahan, selain bekerja dengan keikhlasannya, mereka juga membayar iuran untuk pelaksanaan acara-acara yang ada. Legitimasi persaudaran Islam supaya tidak sampai terpecah-belah, sangat jelas dalam al-Qur’an, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat." (QS al-Hujurat: 49).
Dengan landasan tersebut, acara kegiatan rasulan sebagai bentuk rasa syukur haruslah menunjukkan nilai-nilai keluhuran agama, mengisinya dengan akivitas yang berguna, dan momentum untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Aspek kedua adalah melestarikan budaya luhur yang ada. Masyarakat Gunungkidul dalam mengadakan rasulan dilengkapi dengan pelestarian budaya daerah yang ada. Selain mengadakan pengajian juga mengadakan olahraga sepak bola, voly, dan lain sebagainya. Terlebih dari itu, dalam rasulan juga diadakan kesenian-kesenian semisal wayang kulit, ketoprak, campur sari dan lain sebagainya. Semua diadakan guna me-refresh warga setempat dari penatnya memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, seni-seni budaya yang diadakan difungsikan sebagai media pelestari budaya setempat agar tidak punah.
Budaya daerah yang memiliki nilai positif perlu mendapat perhatian khusus dan pelestarian. Dalam Islam terdapat kata-kata “al-muhafadlah ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yang makna sederhananya: menjaga perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik. Dan, dalam budaya-budaya Jawa, terkandung nilai-nilai positif. Misal, dalam cerita wayang menggambarkan kehidupan manusia di muka bumi dan nantinya akan dipertanggungjawabkan segala bentuk gerak aktivitasnya. Jika tokoh wayang berlaku baik, maka dipastikan akan merasakan happy ending (husnul khatimah). Namun bagi tokoh wayang yang melakukan perbuatan angkara murka, dipastikan akan berakhir dengan sad ending (su’ul khatimah).
Belum lagi saat memperhatikan lagu-lagu Jawa. Dalam lagu-lagu Jawa banyak terkandung petuah, pengingat hidup, dan lain sebagainya. Semua ini jika diresapi akan mendatangkan nilai-nilai positif tersendiri.
Tentu aspek kedua ini pun perlu mendapatkan perhatian. Hingga saat ini jarang sebuah desa/kota mengadakan acara khusus yang turut menjaga tradisi luhur daerah. Era mutakhir marak anak muda lebih memilih budaya asing dari pada budaya daerah. Padahal jika ditilik secara mendalam, budaya daerah jauh lebih memiliki nilai dibanding dengan budaya-budaya asing yang digemarinya.
Berakar dari sinilah, tradisi rasulan perlu mendapat apresiasi. Hanya saja, yang perlu menjadi catatan adalah, jangan sampai ritual-ritual daerah yang dikawinkan dengan nilai-nilai agama menjadikan pelakunya mensekutukan Allah (musyrik). Ritual-ritual yang ada, termasuk rasulan hanyalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam mengisi kegiatannya pun jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai agama. Selayaknya, acara budaya ini dapat dimanfaatkan untuk sarana dakwah, bukan justru meminggirkan syiar Islam. Bukan karena rasulan seseorang akan mendapatkan kenikmatan lebih, melainkan rasulan hanya sebagai wujud syukur warga Gunungkidul kepada Allah, sehingga Allah menepati janjinya, memberikan tambahan kenikmatan bagi yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Wallahu a’lam  [ANTON PRASETYO, Sekretaris redaksi Bulettin At-Tanbih, LTN NU Gunungkidul, Warga Menggoran, Playen]

0 komentar:

Posting Komentar