Hari Raya Ketiga. Itulah sebagian julukan dari ‘rasulan’
atau bersih desa di Kabupaten Gunungkidul, yang setiap tahun diperingati
seluruh warganya. Dikatakan sebagai hari raya ketiga, karena kegembiraan warga
dan kemeriahan tradisi rasul itu laksana hari raya. Dalam ritual rasul diadakan
selamatan dengan mengadakan sedekah dan beragam rangkaian kegiatan lain.
Mulai dari kesenian, olah raga hingga pengajian selalu ditampilkannya.
Ritual rasulan, yang dilaksanakan tahunan oleh setiap
dusun dan/atau desa ini memiliki dua aspek penting yang perlu mendapatkan
apresiasi. Aspek pertama adalah rasa syukur warga Gunungkidul atas berbagai
nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. Mereka mengadakan tasyakuran guna
menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Allah Swt, dan berdoa agar di hari
kemudian semakin bertambah nikmat yang diberikan-Nya.
Apa yang menjadi laku dan tujuan masyarakat Gunungkidul
ini, secara jelas bersesuaian dengan firman Allah Swt dalam kitab suci-Nya
al-Qur’an. “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumatkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (QS. Ibrahim:7). Dengan
demikian, wujud bersyukur dalam tradisi rasulan haruslah bersesuaian dengan
nilai-nilai agama, jangan sampai justru bertentangan.
Masih dalam kaca mata agama, rasulan menunjukkan sikap
kebersamaan. Dengan mengadakan rasulan, warga bergotong royong menyiapkan
beragam kebutuhan acara. Mereka tidak mendapatkan gaji dari kerjanya. Malahan,
selain bekerja dengan keikhlasannya, mereka juga membayar iuran untuk
pelaksanaan acara-acara yang ada. Legitimasi persaudaran Islam supaya tidak
sampai terpecah-belah, sangat jelas dalam al-Qur’an, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu
mendapat rahmat." (QS al-Hujurat: 49).
Dengan landasan tersebut, acara kegiatan rasulan sebagai
bentuk rasa syukur haruslah menunjukkan nilai-nilai keluhuran agama, mengisinya
dengan akivitas yang berguna, dan momentum untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Aspek kedua adalah melestarikan budaya luhur yang ada.
Masyarakat Gunungkidul dalam mengadakan rasulan dilengkapi dengan pelestarian
budaya daerah yang ada. Selain mengadakan pengajian juga mengadakan olahraga
sepak bola, voly, dan lain sebagainya. Terlebih dari itu, dalam rasulan juga
diadakan kesenian-kesenian semisal wayang kulit, ketoprak, campur sari dan lain
sebagainya. Semua diadakan guna me-refresh
warga setempat dari penatnya memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain
itu, seni-seni budaya yang diadakan difungsikan sebagai media pelestari budaya
setempat agar tidak punah.
Budaya daerah yang memiliki nilai positif perlu mendapat
perhatian khusus dan pelestarian. Dalam Islam terdapat kata-kata “al-muhafadlah ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu
bi al-jadid al-ashlah”, yang makna sederhananya: menjaga perkara lama yang
baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik. Dan, dalam budaya-budaya Jawa,
terkandung nilai-nilai positif. Misal, dalam cerita wayang menggambarkan
kehidupan manusia di muka bumi dan nantinya akan dipertanggungjawabkan segala
bentuk gerak aktivitasnya. Jika tokoh wayang berlaku baik, maka dipastikan akan
merasakan happy ending (husnul khatimah).
Namun bagi tokoh wayang yang melakukan perbuatan angkara murka, dipastikan akan
berakhir dengan sad ending (su’ul
khatimah).
Belum lagi saat memperhatikan lagu-lagu Jawa. Dalam
lagu-lagu Jawa banyak terkandung petuah, pengingat hidup, dan lain sebagainya.
Semua ini jika diresapi akan mendatangkan nilai-nilai positif tersendiri.
Tentu aspek kedua ini pun perlu mendapatkan perhatian. Hingga
saat ini jarang sebuah desa/kota mengadakan acara khusus yang turut menjaga
tradisi luhur daerah. Era mutakhir marak anak muda lebih memilih budaya asing
dari pada budaya daerah. Padahal jika ditilik secara mendalam, budaya daerah
jauh lebih memiliki nilai dibanding dengan budaya-budaya asing yang
digemarinya.
Berakar dari sinilah, tradisi rasulan perlu mendapat
apresiasi. Hanya saja, yang perlu menjadi catatan adalah, jangan sampai
ritual-ritual daerah yang dikawinkan dengan nilai-nilai agama menjadikan
pelakunya mensekutukan Allah (musyrik). Ritual-ritual yang ada, termasuk
rasulan hanyalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam mengisi
kegiatannya pun jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Selayaknya, acara budaya ini dapat dimanfaatkan untuk sarana dakwah, bukan justru
meminggirkan syiar Islam. Bukan karena rasulan seseorang akan mendapatkan
kenikmatan lebih, melainkan rasulan hanya sebagai wujud syukur warga Gunungkidul
kepada Allah, sehingga Allah menepati janjinya, memberikan tambahan kenikmatan
bagi yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Wallahu a’lam [ANTON PRASETYO, Sekretaris redaksi Bulettin At-Tanbih, LTN NU Gunungkidul, Warga
Menggoran, Playen]
0 komentar:
Posting Komentar