16 Apr 2012

Teguhkan Argumentasi Hukum Peringatan Maulid Nabi

Hukum Perayaan Maulid Nabi SAW.
Imam Jalaluddin as Suyuti (wafat 911 H) ketika ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi Saw berkata: ”Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan (ihtifal) maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’? Apakah terpuji atau tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak?
”Jawabannya menurut saya adalah bahwa gambaran perayaan maulid nabi ialah manusia berkumpul, membaca al Quran dan kisah-kisah teladan Nabi saw sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudaian menhidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya mendapatkan pahala karena mengagungkan derajat Nabi Saw, menampakkan kegembiraan atas kelahiran beliau yang mulia”. (Al Hawy lil Fatawy Juz I hal. 251-252).
Ekspresi kegembiraan atas kelahiran Nabi Saw, adalah tuntunan dari Al Qur’an, sebagaimana firman Allah Swt dalam Surat Yunus ayat 58 :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud fadlullah dalam surat Al Anbiya ayat 58 di atas adalah ilmu, sedangkan yang dimaksud rahmatullah dalam ayat yang sama adalah Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang termuat dalam surat Al Anbiya’ ayat 107. Jadi, bergembira dan syukur atas kelahiran dan terutusnya Nabi Muhammad Saw adalah tuntutan syara’.
Adapun salah satu cara mengekspresikan hal tersebut adalah dengan maulid Nabi Saw. Posisi upacara peringatan maulid Nabi Saw adalah sebagai salah satu wasilah (sarana) untuk mengkondisikan diri seseorang mencapai tujuan (maqasid); yaitu bersyukur dan bergembira atas kehadiran beliau. Di sinilah penerapan kaidah lil wasa-il hukmul maqaasid.
Terkait dengan tuntunan untuk membaca shalawat atas Nabi Saw, banyak sekali informasi yang bisa kita peroleh dari hadits Nabi Saw, di antaranya Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ - وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ - عَنِ الْعَلاَءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا ».

Bahwasanya Yahya ibn Ayyub, Qutaibah dan Ibn Ja’far memberitakan kepada kami, mereka berkata bahwa Isma’il Ibnu Ja’far memberitakan dari Al Ala’ dari ayahnya yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “barangsiapa membaca shalawat atasku satu kali, Allah memberikan rahmatnya sepuluh kali lipat”

Sementara terkait dengan ekspresi kegembiranan dalam Haflah Maulid Nabi, Imam Bukhori mencatat ilustrasi bahwa setiap hari Senin, siksaan Abu Lahab diperingan oleh Allah swt, disebabkan ia telah memerdekakan budak perempuannya sebagai ekspresi kebahagiaan ketika sang budak mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Muhammad Saw.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shahih-nya pada pasal nikah, kemudian dinukil pula oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bary. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak ash Shan’any dalam Al Mushannaf, Al Hafidz al Baihaqi dalam ad Dala-il, Ibnu Katsir dalam as Sirah an Nabawiyyah min al Bidayah, Ibnu Daiba’ Asy Syaibany dalam Hada-iq al Anwar, Al Baghawy dalam Syarh as Sunnah, Ibnu Hisyam dan Suhaily dalam kitab Ar Raudl Al Anf, dan Imam Al Amiry dalam kittab Bahjatul Mahafil juz l hal. 4l.
Walaupun berupa riwayat mursal, demikian as Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki al Hasany—akan tetapi riwayat tersebut dapat diterima (maqbul) dengan alasan karena Al Bukhary juga meriwayatkannya, dan seperti inilah yang dijadikan pegangan para ulama, di samping alasan bahwa kesan dan pesan riwayat tersebut tidak terkait dengan hukum halal-haram, tapi lebih kepada sisi sifat, karakteristik persona/biografi Nabi Saw. Tentunya, orang yang memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum, pasti mengetahui bagaimana menempatkan hadits sebagai dalil atas hal-hal yang menyangkut aspek hukum dan yang tidak bersinggungan dengan aspek hukum sama sekali, sehingga logika dan produk pemikirannya tidak rancu. Wallahu A’lam.
Akhirnya, perayaan maulid secara seremonial memang belum ada pada masa Rasulullah Saw, sehingga dikatakan bid’ah. Akan tetapi bid’ah hasanah, karena hal tersebut masih dalam bingkai dalil-dalil syari’ah dan kaidah-kaidah umum agama Islam sebagaimana telah penulis uraikan. Praktik tersebut dikatakan bid’ah jika dilihat dari sisi pelaksanaannya secara bersama-sama/kolektif, bukan dilihat dari persona-persona yang telah melakukannya pada masa Nabi Saw.
Menurut sebuah hadits, Nabi Saw sendiri mengagungkan hari lahirnya, seraya bersyukur kepada Allah atas anugerah yang diberikan kepadanya. Hal tersebut diekspresikan Nabi Saw dengan melaksanakan puasa, sebagaimana dalam Hadits dari Abu Qatadah: ”bahwa rasulullah saw ditanya tentang puasa hari Senin, maka Nabi Saw menjawab:”Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula al Qur’an diturunkan kepadaku” (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam riwayat dimaknai ihtifal/perayaan atas kelahiran beliau. Dalam tataran adat setempat, teknis pelaksanaa Maulid Nabi Saw bisa berbeda-beda, akan tetapi memiliki esensi (maqasid) yang sama baik diwujudkan dengan cara (wasa-il) puasa, sedekah, melakukan majlis dzikir, pembacaan shalawat atas Nabi Saw serta dengan cara membaca atau mendengarkan sejarah perjalanan hidup beliau. Wallahu A’lam.
( oleh : Zudi Rahmanto, PCNU Gunungkidul, Alumnus Fakultas Syariah IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta)


rating : 5 by : Team Tanbih on:
Save to PDF

3 komentar:

Unknown mengatakan... 16 Apr 2012, 22.37.00

Mantab Artikelnya pak Yudi. :)

ZuRa mengatakan... 1 Sep 2012, 10.28.00

ijin copas bos

Unknown mengatakan... 14 Des 2012, 22.51.00

hehehe, tafadzol.. silakan copas artikel yg asli di PC nya pak ZuRa..

Posting Komentar